Toponim Kotabaru

KOTABARU

 

             Berdirimya Kotabaru pada dasarnya merupakan konsekuensi dari pertumbuhan jumlah warga Belanda di Yogyakarta. Pertumbuhan warga Belanda di Yogyakarta ini disebebkan berkembangnya industri gula dan perkebunan lain, serta makin banyaknya kaum profesional yang bergerak di bidang pendidikan, kesehatan dan perdagangan. Kotabaru dahulu dikenal dengan nama Niuwe Wijk dan berlokasi di sebelah timur Sungai Code. Untuk kepentingan perluasan lahan tersebut, maka Residen Canne mengajukan permohonan kepada Sri Sultan agar diberi tempat khusus bagi orang-orang Eropa di sebelah timur Sungai Code. Permohonan tersebut dikabulkan oleh Sultan. Pengaturan pelaksanaan pembuatan hunian baru tersebut diatur dalam Rijksblaad van Sultanaat Djogjakarta No 12 tahun 1917. Adapun isinya antara lain mengatur pemberian lahan dan wewenang untuk membuat bangunan, jalan, taman dan perawatan. Untuk pembuatan bangunan, jalan, taman, dan perawatan diatur oleh Kasultanan, sedangkan untuk penggunaan lahan diatur oleh Commisie Van Sultanaat Werken, dan diketuai Ir. L. VR. Bijleveld. Proyek Kawasan Kotabaru mulai dikerjakan pada tahun 1917 dan selesai tahun 1920 (I.E. Hadiyanta, 2004: 2-3). Adapun ciri-ciri bangunan yang dirancang di kawasan Kotabaru antara lain: bangunannya tinggi, besar, halaman luas, jendela dan pintu besar dengan krepyak, langit-langit tinggi, ada hiasan kaca timah dan teras terbuka. Ciri-ciri tersebut berbeda dengan bangunan masyarakat tradisional (Dra. Ari Setyastuti, dkk, 2003: 154).

                Kawasan Kotabaru disamping sebagai tempat tinggal, juga ada fasilitas pendukung lainnya seperti fasilitas keagamaan. Fasilitas tersebut antara lain Gereja Kristen Gereformeerd Kerk, Gereja Katolik Santo Antonius Van Padua. Pada tahun 1922 orang-orang Belanda yang beragama Kristen membangun gedung Gereja Kristen Gereformeerd yang diresmikan pada tahun 1923. Gereja Kristen Gereformeerd ini dikenal juga dengan Gereja Gereformeerd Kerk, sekarang digunakan untuk Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Gereja ini terletak di Sultan Boulevard – sekarang Jalan Nyoman Oka.

                Dengan demikian pada tahun 1923 di Kota Yogyakarta sudah ada dua gedung Gereja Kristen Gereformeerd, yang satu khusus untuk orang-orang Jawa yaitu GKJ Sawokembar Gondokusuman di Jalan Klitren Lor. Satu lagi untuk orang-orang Belanda yaitu Gereja Gereformeerd Kerk di Sultan Boulevard (Isra, SH, dkk, 1988: 35).

                Pada tahun 1926 di kawasan Kotabaru berdiri Gereja Katolik Santo Antonius Van Padua. Sekarang Gereja ini dikenal dengan sebutan Gereja Santo Antonius. Sebelum Gereja Santo Antonius berdiri, kegiatan keagamaan orang-orang Belanda yang beragama Katolik dilaksanakan di rumah pribadi milik Perquin. Adapun perintis pembangunan Gereja Katolik Santo Antonius Van Padua adalah Romo F. Strater, SJ dan sebagai penanggungjawabnya Romo J. Hoeberecht SJ. Gereja Santo Antonius terletak di Boulevard Jongnuiere sekarang Jalan Abu Bakar Ali (Dra. Ari Setyastuti, dkk, 2003: 157).

                Di kawasan Kotabaru juga terdapat fasilitas kesehatan yaitu adanya rumah sakit yang bernama Zendings Ziekenhuis “Petronella” atau Rumah Sakit Petronella. Rumah Sakit Petronella dikenal oleh masyarakat dengan nama Rumah Sakit “Dokter Tulang”. Rumah Sakit Petronella ini didirikan oleh Dr. J.G. Scheurer. Sebelum mendirikan Rumah Sakit Petronella, Dr. J.G. Scheurer mendirikan klinik sederhana di Bintaran.

                Pada tanggal 20 Mei 1899 dilakukan peletakan batu pertama pendirian rumah sakit. Pembangunan ini dipercayakan kepada A. Stuur. Pembangunan dapat diselesaikan dalam waktu 10 bulan dan pada tanggal 1 Maret 1900 dilakukan peresmian. Rumah sakit tersebut diberi nama Zendings Ziekenhuis “Petronella” (Rumah Sakit Zending Petronella) dan sejak tahun 1950 bernama Rumah Sakit Bethesda (Isra, SH, 1988: 22-23).

                Kecuali fasilitas keagamaan dan kesejahteraan juga ada fasilitas olah raga seperti Stadion Bijeveld yang sekarang bernama Stadion Kridosono serta sarana pendidikan ELS -sekarang SD Ungaran-, Noormaalschool -sekarang SMP 5-, Christelijk MULO -sekarang SMA BOPKRI- dan AMS -sekarang SMA Negeri 3-. Fasilitas lainnya adalah drainage untuk membuang limbah rumah tangga maupun hujan. Selokan-selokan dirancang sedemikian rupa, sehingga selokan-selokan kecil bermuara ke selokan besar yang kemudian menuju ke pembuangan akhir yaitu Sungai Code.

                Karakteristik lain Kotabaru adalah vegetasi yang berupa pohon-pohon perindang, buah-buahan dan pohon dengan bunga yang harum baunya. Pohon-pohon tersebut ditanam baik di halaman rumah, halaman gereja, sekolah, rumah sakit maupun di sepanjang jalan serta boulevard. Banyaknya pohon-pohon yang ditanam di kawasan Kotabaru memperjelas karakter kawasan tersebut sebagai suatu taman kota. Adapun jalan-jalan yang ada di kawasan Kotabaru antara lain:

  1. Jalan Abu Bakar Ali

Jalan Abu Bakar Ali, pada masa Pemerintahan Hindia Belanda bernama Boulevard Jonquire (MP van Brugen, dkk, 1998: 118). Kemudian berdasarkan penetapan Dewan Pemerintah Daerah Kotapraja Yogyakarta Nomor 9 tahun 1955, nama Boulevard Jonquire diganti menjadi Jalan Margokridonggo, karena jalan ini (dari arah barat ke timur) menuju ke lapangan olah raga Kridosono. Sejak tahun 1958 nama Margokridonggo diganti menjadi Jalan Abu Bakar Ali.

Penggantian ini berdasarkan Penetapan Dewan Pemerintah Daerah Kotapraja Yogyakarta Nomor 21 tahun 1958, untuk menghargai jasa perjuangan Abu Bakar Ali dalam rangka menegakkan dan mempertahankan kemerdekaan. Ia salah seorang pejuang yang gugur dalam pertempuran Kotabaru pada tanggal 7 Oktober 1945. Jalan Abu Bakar Ali diawali dari simpang empat Jalan Malioboro – Jalan P. Mangkubumi – simpang tiga Jalan Suroto – Jalan Yos Sudarso (Drs. Salamun, 1998/1990: 66).

  1. Jalan Ahmad Jazuli

Jalan Ahmad Jazuli pada masa Pemerintahan Hindia Belanda bernama Tjodeweg (MP van Brugen, dkk, 1998: 114). Kemudian berdasarkan penetapan Dewan Pemerintah Daerah Kotapraja Yogyakarta Nomor 9 tahun 1955, Tjodeweg diganti menjadi Jalan Code. Selanjutnya berdasarkan penetapan Dewan Pemerintah Daerah Kotapraja Yogyakarta Nomor 21 tahun 1958, nama Jalan Code diganti menjadi Jalan Ahmad Jazuli.

Penggantian nama ini untuk menghargai jasa perjuangan Ahmad Jazuli dalam rangka menegakkan dan mempertahankan kemerdekaan. Ia salah seorang pejuang yang gugur dalam pertempuran Kotabaru pada tanggal 7 Oktober 1945. Jalan Ahmad Jazuli merupakan kelanjutan Jalan I Dewa Nyoman Oka ke arah selatan menyusur tepi Sungai Code sampai simpang tiga Jalan Abu Bakar Ali (Drs. Salamun, 1989/1990: 67-68).

  1. Jalan Suroto

Jalan Suroto pada masa Pemerintahan Hindia Belanda bernama Mataram Boulevard. Kemudian berdasarkan penetapan Dewan Pemerintah Daerah Kotapraja Yogyakarta Nomor 9 tahun 1955, nama Mataram Boulevard diganti menjadi Jalan Widoro. Berdasarkan penetapan Dewan Pemerintah Daerah Kotapraja Yogyakarta Nomor 21 tahun 1968, nama Jalan Widoro diganti menjadi Jalan Suroto.

Penggantian nama ini untuk menghargai jasa perjuangan Suroto dalam rangka menegakkan dan mempertahankan kemerdekaan. Suroto merupakan salah seorang pejuang yang gugur dalam pertempuran Kotabaru pada tanggal 7 Oktober 1945. Jalan Suroto ini dimulai dari simpang empat Jalan Jenderal Sudirman – Jalan Tengku Cik Ditiro ke selatan, sampai simpang tiga Jalan Laksamana Muda Yos Sudarso.

  1. Jalan Laksamana Muda Yos Sudarso

Jalan Laksamana Muda Yos Sudarso pada Masa Pemerintah Hindia Belanda bernama Spart Boulevard atau Taman Krido (MP. Van Brugen, dkk, 1998: 119). Dinamakan Taman Krido karena jalan ini melingkari lapangan olah raga Stadion Kridosono. Nama Laksamana Muda Yos Sudarso pada tahun 1966 sebenarnya sudah dipakai sebagai nama Jalan Jogonegaran sampai sekarang. Sedang nama Laksamana Muda Yos Sudarso dipergunakan untuk mengganti nama Jalan Taman Krido.

Pemberian nama Laksamana Muda Yos Sudarso ini untuk mengenang dan menghargai jasa perjuangan Laksamana Muda Yos Sudarso dalam rangka merebut Irian Barat dari tangan Belanda. Ia gugur dalam pertempuran di Laut Aru pada tanggal 15 Januari 1962.

Kecuali nama jalan tersebut diatas di kawasan Kotabaru masih banyak jalan-jalan yang pada mulanya menggunakan nama sungai dan gunung. Nama-nama jalan di sebelah barat Jalan Suroto banyak menggunakan nama sungai, sedangkan di sebelah timur Jalan Suroto menggunakan nama gunung. Berdasarkan penetapan Dewan Pemerintah Daerah Kotapraja Yogyakarta Nomor 21 tahun 1958, nama-nama jalan di kawasan Kotabaru diganti namanya dengan mengunakan nama-nama pahlawan yang gugur dalam pertempuran Kotabaru tanggal 7 Oktober 1945; kecuali Jalan Taman Krido dan Jalan Merbabu. Jalan Merbabu baru pada tanggal 11 November 1966 diganti menjadi Jalan Pattimura.

Pada masa pendudukan Jepang, kawasan Kotabaru diambil alih untuk kepentingan tentara Jepang, baik untuk perkantoran, perumahan, tangsi, gudang, dsb. Kemudian pada waktu Yogyakarta menjadi ibukota RI sejak tahun 1946-1949 di kawasan Kotabaru terdapat beberapa bangunan yang dipergunakan untuk kepentingan Pemerintah RI. Beberapa bangunan tersebut antara lain Kolese Santo Ignatius dipakai sebagai Kantor Kementrian Pertahanan, Christelijke MULO -sekarang SMA BOPKRI I- dipakai sebagai Akademi Militer, AMS -sekarang SMA Negeri 3- dipergunakan untuk menampung pelajar pejuang. Sedangkan Kantor Kementrian Luar Negeri menggunakan bangunan yang sekarang dipakai sebagai Jogja Study Center (Dra. Ari Setyastuti, dkk, 2003: 155-156). Sebelum dipergunakan untuk Jogja Study Center, bangunan ini dipakai sebagai Kantor Museum Sejarah dan Kepurbakalaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.