Sarasehan City of Philosophy: Kota Yogyakarta Menuju Warisan Dunia
“Mari kita kembalikan Yogyakarta seperti dulu Hamengkubuwono I membangun, kita jadikan wajah Yogyakarta menjadi lebih indah”. Ajakan ini disampaikan oleh GKR Mangkubumi dalam forum sarasehan bertema City of Philosophy: Kota Yogyakarta Menuju Warisan Dunia, Jum’at, 25 Juni 2021 bertempat di Royal Malioboro Hotel Yogyakarta.
Forum ini diselenggarakan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta sebagai tindak lanjut dan dukungan atas pengusulan Sumbu Filosofi oleh Pemerintah Daerah DIY untuk menjadi salah satu Warisan Budaya Dunia Tak Benda ke UNESCO.
Kegiatan yang dibiayai dengan dana keistimewaan ini diselenggarakan atas dasar kesadaran bahwa salah satu elemen strategis pengembangan kawasan adalah dengan menyusun perencanaan tata kota yang baik. Perencanaan tata kota yang baik harus menciptakan sinergi antar dimensi yaitu ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Dengan terwujudnya sinergi antar dimensi akan menciptakan pola perencanaan tata kota yang berkelanjutan, partisipatif, dan memberi manfaat yang optimal bagi seluruh pemangku kepentingan .
Kepala Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Kota Yogyakarta, Yetti Martanti, S.Sos., MM menjelaskan bahwa secara garis besar tujuan diselenggarakannya kegiatan forum ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang komprehensif mengenai pemaknaan Sumbu Filosofi DIY dan upaya yang telah dilakukan untuk menjadikan Sumbu Filosofi sebagai Warisan Budaya Dunia Tak Benda UNESCO. Selain itu juga diharapkan dapat menjadi wadah diskusi dalam rencana penyusunan strategi untuk mengintegrasikan Sumbu Filosofi dalam kebijakan penataan Kota Yogyakarta di masa depan sehingga dapat dipastikan kebutuhan seluruh pemangku kepentingan terpenuhi secara proporsional.
Beberapa aspek dibahas dalam forum ini diantaranya tentang masa depan kawasan yang menjadi bagian dari Sumbu Filosofi, strategi kebijakan multisektor yang mampu mendorong pengembangan kawasan yang lebih inklusif, partisipatif, dan ekonomi berkesinambungan, serta tentang keterlibatan para pemangku kepentingan dalam perancangan tata Kota Yogyakarta di masa depan.
Oleh karena itu, dalam forum ini menghadirkan narasumber dari berbagai latar belakang diantaranya Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi (Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat) sebagai Pembicara Utama, Aris Eko Nugroho, S.P., M.Si. (Paniradya Pati Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta), Ir. Aman Yuriadijaya, M.M. (Sekretaris Daerah Kota Yogyakarta), dan Prof. Dr. Edy Suandi Hamid, M.Ec. (Parampara Praja Daerah Istimewa Yogyakarta dan Rektor Universitas Widya Mataram Yogyakarta).
Secara garis besar tujuan diselenggarakannya kegiatan forum ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang komperhensif mengenai pemaknaan Sumbu Filosofi DIY dan upaya yang telah dilakukan untuk menjadikan Sumbu Filosofi sebagai Warisan Budaya Dunia Tak Benda UNESCO. Selain itu juga diharapkan dapat menjadi wadah diskusi dalam rencana penyusunan strategi untuk mengintegrasikan Sumbu Filosofi dalam kebijakan penataan Kota Yogyakarta di masa depan sehingga dapat dipastikan kebutuhan seluruh pemangku kepentingan terpenuhi secara proposional.
“Pemerintah Kota Yogyakarta memiliki peran untuk memoderasi dalam berbagai hal, salah satunya dalam penyusunan regulasi untuk mempertemukan kepentingan lokal dengan pusat. Pemerintah Kota Yogyakarta juga melakukan overlay sumbu filosofi dengan planologi perkotaan melalui konsep kebijakan pusat kota giratori, yang tentunya tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat,” papar Sekda Kota Yogyakarta, Aman Yuriadijaya.
Prof. Dr. Edy Suandi Hamid, M.Ec dalam penyampaian materinya tentang Potensi ekonomi dalam kebijakan penataan kawasan Sumbu Filosofi memaparkan bahwa munculnya gagasan pengusulan Sumbu Filosofi di Yogyakarta sebagai salah satu Warisan Budaya Dunia Tak Benda UNESCO terinsparasi dari Kota Kazan di Rusia dan Stonehenge di Inggris yang berhasil melestarikan heritage, tata kota, hingga ditetapkan sebagai Kota Budaya Dunia oleh UNESCO.
Ia juga menambahkan bahwa Garis Imajiner dan Sumbu Filosofi merupakan kekayaan budaya di Yogyakarta, kisah mitologi yang menyelimutinya dapat menjadi destination of history DIY. Dengan kata lain Sumbu Filosofi dapat menjadi Fetishisme yang menjadi komoditas pijakan pengembangan sektor pariwisata yang memiliki multiplier effect besar terhadap roda perekonomian DIY.
Aris Eko Nugroho, S.P., M.Si dalam materi paparannya yang berjudul Interpretasi Sumbu Filosofi dalam Kebijakan Pemerintah DIY menyampaikan bahwa melestarikan Kota Yogyakarta (City of Philosophy) sebagai Warisan Dunia bukan berarti menghentikan perkembangan kota dan pembangunan ekonomi. Perkembangan Kota Yogyakarta ke depannya perlu memperhatikan upaya pelestarian nilai-nilai budaya dan situs-situs dalam sumbu filosofi DIY. “Sebagai kota yang telah dirancang dengan nilai-niai budaya, inti Kota Yogyakarta perlu dijaga agar memiliki nuansa ruang (sense of place) yang berbeda dari kota-kota modern lain di berbagai belahan dunia”.
Sementara itu moderator sarasehan tersebut, Hangga Fathana, S.IP, B.Int.St, MA, dalam kesimpulannya menyatakan optimis jika Sumbu Filosofi akan diakui UNESCO sebagai Warisan Budaya Tak Benda karena pertimbangan nilai keunikan, yaitu Yogyakarta merupakan satu-satunya kota di dunia yang memiliki garis imajiner yang menyimbolkan fase perjalanan hidup manusia, dan nilai universal dari latar belakang etnis dan ras, sosio-ekonomi, sosio-budaya, dan lain sebagainya. Apabila Sumbu Filosofis Yogya berhasil masuk dalam daftar Warisan Budaya Dunia, maka akan menambah jumlah warisan dunia di Indonesia. (lrs)