Sebuah bangunan yang berada di depan Taman Parkir Abu Bakar Ali ini lebih dikenal sebagai Babon ANIEM. Namun sebenarnya bangunan ini dulunya difungsikan sebagai gardu listrik pada masa Kolonial Belanda. ANIEM merupakan singkatan dari Algemene Nederlandsch Indische Electrisch Maatscapij sebuah perusahan penyedia listrik swasta di Hindia Belanda.

ANIEM mendapatkan konsensus untuk menyediakan listrik di Yogyakarta pada 1914. Dibutuhkan waktu 5 tahun untuk membangun jaringan listrik di Yogyakarta. Sebelum tersedianya jaringan listrik, masyarakat Yogyakarta masih menggunakan minyak dan gas sebagai bahan bakar untuk penerangan. Kawasan awal yang mendapatkan pasokan listrik adalah wilayah njero benteng, Loji Gede, Loji Cilik, Malioboro, hingga Kotabaru.

Pembangunan jaringan ini ditandai dengan adanya bangunan gardu listrik yang dikenal masyakarat sebagai Babon ANIEM.  Fungsi dari gardu listrik ini sebagai pengatur dan pembagi daya listrik yang dialirkan ke rumah-rumah dan fasilitas lainnya. Di sekitar bangunan diberi tanda bahaya sengatan listrik dengan tiga bahasa yakni Belanda, Melayu, dan Jawa.

Daya listrik yang mengalir di Kota Yogyakarta berasal dari pembangkit yang ada di Tuntang, Semarang. Pembangkit yang digunakan merupakan tenaga air yang bersumber dari Ambarawa. Pemerintah Kolonial Belanda mulai membangun jaringan listrik dari Semarang ke Yogyakarta sejak 1904 dan baru selesai pada 1918. Pada tahun 1919 terjadi peningkatan permintaan sambungan listrik di Yogyakarta yang membuat ANIEM memutuskan untuk membangun pembangkit listrik tenaga diesel. Pembangkit listrik tenaga diesel tersebut selesai dibangun pada 1922.

Hingga 1939 hampir seluruh wilayah Kota Yogyakarta mulai dari Pingit hingga Wirobrajan telah teraliri listrik. Listrik tidak hanya mengalir di wilayah-wilayah pemukiman, namun juga mengalir untuk kepentingan penerangan jalan umum. Jalan-jalan besar mulai menggunakan penerangan tenaga listrik yang biayanya ditanggung oleh Keraton. Pada waktu itu harga listrik masih sangat mahal untuk dijangkau masyarakat umum. Pada 1938 untuk dua buah lampu dengan masing-masing berukuran 10 watt tagihan listrik yang harus dibayarkan setiap bulan adalah sebesar ƒ 1,-. Harga tersebut sama dengan harga beras 15 Kg pada waktu itu.

Sumber :

Dian Andika Winda. “Cahaya di Bumi Mataram: Perkembangan Eletrifikasi Kota Yogyakarta 1917-1942”. Skripsi. S1 Sejarah FIB UGM. 2008.

Tim Penulis. Pusparagam, Warisan Budaya Kota Yogyakarta. Yogyakarta: Dinas Kebudayaan DIY. 2016.