Bakpia
Bakpia
Nomor Sertifikat Penetapan : 63380/MPK.E/KB/2016
Nama Karya Budaya : Bakpia Yogyakarta
Domain : Kemahiran dan Kerajinan Tradisional
Tahun Penetapan : 2016
Nama komunitas/organisasi/ asosiasi/badan/paguyuban/kelompok sosial/atau perorangan yang bersangkutan : Bakpia Tamansari M. Niti Gurnito ; Bakpia Pathuk 75 ; Bakpia Pathuk 25 ; Keluarga Kwik Sun Kok/Bakpia Lestari
Nama Maestro : Yung Yen (penerus Bakpia Pathuk dan pemilik Bakpia Pathuk 75) ; Tan Aris Nio (penerus Bakpia Pathuk dan pemilik Bakpia Pathuk 25) ; Keluarga Kwik Sun Kok (penerus Bakpia Lestari) ; Keluarga M . Niti Gurnito (penerus Bakpia Tamansari M. Niti Gurnito

 

Deskripsi Singkat:

Bakpia telah mendapatkan tempat sebagai makanan khas Yogyakarta karena berbagai macam proses yang tertaut di dalamnya. Makanan ini merupakan perpaduan antara cita rasa Tionghoa dengan lokal, yang awalnya menggunakan minyak babi bermetaforsis menjadi kue bulat tanpa minyak babi dan bisa diterima oleh semua kalangan. Kehadirannya pertama kali di Yogyakarta karena usaha untuk memberi “warna” lain dari jenis makanan kecil yang waktu itu tidak banyak variasinya dan kebanyakan berupa makanan tradisional daerah atau roti yang diakulturasi dari Belanda. Perpanduan tersebut menciptakan ruang bahwa akulturasi dan toleransi antara orang Tionghoa dan Jawa tidak hanya terwujud dalam kehidupan sehari-hari tetapi juga dalam wujud makanan.

Resep bakpia awalnya dibawa oleh seorang Tionghoa yang berasal dari Wonogiri bernama Kwik Sun Kwok pada tahun 1940-an. Beliau menyewa tempat untuk usahanya milik Niti Gurnito di Kampung Suryowijayan, Mantrijeron Yogyakarta. Setelah Ksik Sun Kwok pindah kampong di sebelah Barat Kampung Suryowijayan, Niti Gurnito melanjutkan usaha pembuatan dan penjualan bakpia di lokasi lahannya. Dalam pengelolaan NIti Gurnito, usaha ini berkembang menjadi semakin besar dan menebus pasar hingga ke Prambanan, Sleman, dan Bantul. Produksi bakpia yang dikelola oleh Niti Gurnito saat itu lebih dikenal dengan sebutan bakpia Tamansari atau  kemudian juga disebut sebagai Bakpia Niti Gurnito.

Selain Bakpia Tamansari, juga dikenal bakpia Patuk 75 milik Liem Bok Sing. Diceritakan pada saat itu, Liem Bok Sing adalah seorang perantauan dari negeri Tiongkok dan tinggal di daerah Dagen. Dia berjualan arang sebagai bahan bakar utama untuk memanggang bakpia. Bermula dari hubungan dagang ini , diperkirakan Kwik Sun Kwok memberikan informasi tentang proses pembuatan bakpia kepada Liem Bok Sing. Pada tahun 1948 , Liem Bok Sing merintis usaha pembuatan Bakpia dengan resep yang dikembangkan sendiri. Selanjutnya, pada tahun 1955keluarga Liem Bok Sing pindah rumah ke daerah Pathuk (Jl. Aipda KS Tubun No. 75) dan melanjutkan usaha pembuatan dan penjualan bakpia. Bakpia Pathuk sebagai nama bakpia yang dikelola oleh Liem Bok Sing mulai dikenal masyarakat Yogyakarta dan sekaligus membedakan Bakpia Tamansari yang dikelola oleh Niti Gurnito. Usaha pembuatan bakpia yang dikelola oleh Liem Bok Sing di Pathuk berkembang dengan pesatnya. Pathuk tumbuh sebagai industri bakpia. Beberapa warga pathuk juga ikut merintis usaha pembuatan bakpia. Dalam perkembangan selanjutnya, kampong Pathuk lebih dikenal sebagai wilayah usaha pembuatan bakpia dibandingkan Tamansari.

Bakpia tellah menjadi salah satu perpaduan kebudayaan yang relatif harmonis dan sekaligus memberikan contoh nyata tentang kebudayaan yang dinamis. Cita rasa Tionghoa telah terpadu secara harmonis dengan cita rasa lokal (Jawa) sebagai perwujudan konkrit toleransi dan akultusari antar budaya Tionghoa dan lokal (Yogyakarta). Sekat-sekat perbedaan semakin menjadi lentur karena proses “dialog” dengan lingkungan sekitar dan bahkan setelah beberapa dasawarsa kemudian sekat-sekat tersebut menjadi lebur.

Usaha untuk mempertautkan keberadaan bakpia dengan tradisi syukur yang pernah Berjaya pada masanya di kampung-kampung atau desa-desa di wilayah Yogyakarta merupakan usaha kreatif warga masyarakat dalam memberikan warna yang berbeda agar bakpia tidak hanya tertautkan dalam aspek ekonomi semata tetapi juga mengisyaratkan kandungan keharmonisan dan keseimbangan yang melekat dengan budaya Yogyakarta. Dengan demikian ketika disadari bahwa penjualan bakpia sangat tergantung dari sektor Pariwisata, maka usaha untuk mengupayakan kondisi harmonis dan jaminan rasa aman di wilayah Yogyakarta  menjadi prasyarat utama dalam menunjang keberlanjutan sektor ini. Bakpia tidak sekedar dipahami sebagai salah satu jenis makanan khas Yogyakarta, tetapi banyak aspek kehidupan melekat di dalamnya.

Dirangkum dari Argo Twikromo, “Bakpia Yogyakarta” dalam Goresan Peradaban #1 : Kumpulan Ragam Warisan Budaya Takbenda Daerah Istimewa Yogyakarta. 2018. Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta : Yogayakarta, hlm. 2-10.