Jathilan Yogyakarta
Sumber : Anakdewa dari Pixabay
Nomor Sertifikat Penetapan : 63380/MPK.E/KB/2016
Nama Karya Budaya : Jathilan Yogyakarta
Domain : Seni Pertunjukan
Tahun Penetapan : 2016
Nama komunitas/organisasi/ asosiasi/badan/paguyuban/kelompok sosial/atau perorangan yang bersangkutan : Grup Jathilan "Paguyuban Jathilan Satria Muda Budaya" 
: Bekso Mudho Laras 
: Sorengpati
: Komunitas Jathilan Gaul
: Kuda Pranesa 
: Grup Rampak Kuda
Nama Maestro : Sumaryanto (pelaku seni Paguyuban Jathilan Satria Muda Budaya)
: Dr. Kuswarsantyo, M.Hum 
: Saridal, S.Pd 
: Sancoko, S.Pd 
: Widodo Pujo Bintoro, S.Pd

 

Deskripsi Singkat :

 Yogyakarta sebagai kota budaya memiliki beragam kesenian tradisional yang tumbuh dan berkembang hingga saat ini. Salah satu seni pertunjukan adalah tradisional yang popular di Yogyakarta adalah jathilan. Saat ini media pertunjukan tersebut hadir dalam berbaga kegiatan berkesenian di Yogyakarta, mulai dari kampong-kampung hingga festival-festival kesenian di Yogyakarta. Jathilan tidak hanya terdapat di Daerah Istimewa Yogyakarta. Kesenian ini juga terdapat di Bali, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Masing-masing daerah memiliki bentuk dan gaya pertunjukan yang khas sesuai dengan budaya dan karakter social masyarakat pendukungnya. Bahkan antar kabupaten/kota di DIY juga terdapat bentuk dan gaya pertunjukan jathilan yang berbeda-beda pula. Akan tetapi, seni pertunjukan jathilan memiliki ciri khas utama, yaitu menggunakan kuda yang terbuat dari anyaman bamboo sengan sejumlah penari dan music pengiring. Jathilan sebagai sebuah tontonan masih menawarkan sisi eksotis yang mampu memikat penonton dari atraksi kuda, tarian, iringan music, dan adegan trace para pemain (adegan pemain jathilan kesurupan roh halus).

Sebelum agama Hindu masuk di pulau Jawa, masyarakat telah mengenal berbagai bentuk ritual. Ritual-ritual tersebut merupakan bentuk kepercayaan terhadap kekuatan-kekuatan di luar diri manusia. Termasuk bentuk-bentuk binatang totem yang dihadirkan dalam sebuah pertunjukan. Jathilan yang menggunakan kuda yang terbuat dari anyaman bamboo sebagai media utama diyakini menghadirkan totem berupa kuda yang disebut Sang Hyang Jaran. Jaran yang artinya kuda menjadi unsur yang menarik dalam sebuah tarian, sehingga diolah dan berkembang bentuknya menjadi jathilan.

Bagi masyarakat yang percaya dengan kekuatan roh binatang, maka roh-roh binatang tersebut dipercaya dapat mengusir kekuatan-kekuatan jahat yang menggangu. Totem kuda dipandang sebagai kekuatan yang dapat mengusir roh jahat atau dapat melindungi desa dari berbagai bencana. Kehadiran roh sebenarnya merupakan bagian dari ritual yang diselenggarakan. Sementara itu, masyarakat saat ini memandang kehadiran roh sebagai bagian dari atraksi pertunjukan. Ketika jathilan tidak semata-mata bersifat ritual, maka terjadi perubahan bentuk dan gaya penyajian yang mengutamakan bentuk-bnetuk kreasi. Aspek ritual yang mengikat diabaikan dan pengembangan semata-mata pada aspek pertunjukan. Dengan demikian, jathilan telah berkembang sebagai kesenian rakyat yang menghibur. Akan tetapi, kehadiran roh sebagai bentuk kepercayaan masyarakat yang bersifat animisme tetap dipertahankan.

Jathilan di DIY tersebar di kabupaten dan kota dengan memiliki ciri khusus yang berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lain. Di Kota Yogyakarta,pertunjukan jathilan dikemas mengikuti perkembangan zaman. Sementara di Bantul, kekuatan penyajian jathilan terletak intensitas penghayatan di balik tampilan yang sederhana. Jathilan di sana masih banyak yang memegang kuat pakem-pakem jathilan dan mementingkan fungsi ritual. Di Gunung Kidul, salah satu daya Tarik jathilan terletak pada aspek pengolahan gerak yang dibawakan oleh penari putri. Jathilan yang dibawakan oleh penari putri ini biasanya tidak terikat pada pakem dan cerita tertentu. Penyajian jathilan menghadirkan suatu permainan yang menggambarkan kecerian pergaulan di kalangan anak muda. Lain halnya Kabupaten Kulon Progo memiliki jenis jathilan yang khas, biasanya disebut incling dengan iringan musik khas menyerupai angklung yang disebut krumpyung yang terbuat dari bambu. Alat musik khas inilah yang memberi warna baru pada Jathilan di Kulon Progo.

Dalam perkembangannya, jathilan dibagi menjadi empat, yaitu yang pertama Jathilan pakem. Jathilan ini merupakan jathilan tradisional yang masih memiliki bentuk dan gaya penyajian sebagaimana aslinya. Kedua, jathilan tradisional yang telah dikembangkan atau terdapat penggarapan sehingga bentuk dan gaya penyajiannya berubah. Bentuk kedua ini biasa disebut jathilan kreasi baru . Jathilan kreasi baru bersifat menghibur dan mengikuti selera masyarakat. Jenis yang ketiga, jathilan yang dikembangkan dalam rangka mengikuti sebuah festival.  Jathilan yang digelar untuk sebuah festival biasanya mengikuti kriteria-kriteria yang ditetapkan sebuah festival. Kategori keempat adalah jathilan yang ditampilkan untuk kepentingan entertainment. Jathilan dalam kategori ini adalah jathilan yang mengikuti pesanan tertentu. Artinya, bahwa bentuk dan gaya penyajian jathilan memiliki permintaan terkait dengan penyajian. Jika dilihat dari perkembangan jathilan saat ini, maka kesenian jathilan memiliki potensi khusus untuk tetap hidup dan berkembang dalam masyarakat.

Dirangkum dari Nanang Arizona, “Jathilan” dalam Goresan Peradaban #1 : Kumpulan Ragam Warisan Budaya Takbenda Daerah Istimewa Yogyakarta. 2018. Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta : Yogayakarta, hlm. 100-110.