Pemukiman masyarakat Eropa di Yogyakarta pada awalnya berpusat di sekitar Loji Kecil (Benteng Vredeburg). Dengan meningkatnya aktivitas perekonomian, terutama setelah berkembangnya perkebunan tebu dan pabrik gula mengakibatkan bertambahnya populasi orang Eropa di Yogyakarta. Dengan semakin meningkatnya jumlah populasi tentunya permintaan kebutuhan akan hunian juga bertambah. Hingga akhirnya diputuskan untuk memperluas wilayah pemukiman Eropa ke arah utara. Cornelis Cane, Residen Yogyakarta saat itu meminta ijin kepada Sultan Hamengku Buwono VII untuk membangun kawasan pemukiman baru bagi Orang Eropa. Baru pada awal abad 20 perluasan pemukiman tersebut dapat dilakukan, dengan keluarnya Rijksblad Sultan Jogjakarta No. 12, 1917. Peraturan ini berisikan mengenai ijin pembangunan kawasan Kotabaru (Nieuwe Wijk) di sebelah timur Kali Code. Pembangunan dimulai pada 1920 oleh komite khusus yang dibentuk oleh Residen dan Sultan.

Gambar : Salah satu sudut Kotabaru masa Kolonial

Sumber : Mayangkara Edisi 4, 2017. Buletin Balai Pelestarian Warisan Budaya dan Cagar Budaya, Dinas Kebudayaan DIY.

 

     Kotabaru mengusung konsep garden city yang menempatkan proporsi taman dan lahan terbuka lebih banyak, bangunan rumah lebih mundur dari sempadan jalan, serta pemisahan kawasan hunian dengan area fasilitas publik. Kawasan ini juga didesain sebagai kota mandiri yang memiliki fasilitas publik yang lengkap untuk memenuhi kebutuhan  penghuni dalam satu area. Kotabaru dibangun dengan bentuk radial dengan lapangan di tengah dan dihubungkan dengan jalan besar (Boulevard). Kawasan ini jika diperhatikan maka akan terlihat seperti dibagi menjadi dua bagian yang dipisahkan oleh boulevard dan lapangan di tengah. Pada bagian barat merupakan area khusus hunian, sedangkan di sisi timur adalah bangunan yang bersifat publik.

Gambar : Kotabaru dilihat dari sisi barat

Sumber : Koleksi Gereja St. Antonius Kotabaru

 

     Kotabaru menjadi penting dalam konteks historis perjalanan sejarah Kota Yogyakarta. Di kawasan ini menjadi saksi perjalanan peristiwa-peristiwa penting. Pada masa kolonial menjadi milestone pembangunan kawasan hunian modern. Pada masa Jepang menjadi kawasan hunian dan aktifitas militer. Pada masa kemerdekaan kawasan ini tidak terlepas sebagai peran pendukung dalam Yogyakarta sebagai ibukota Republik. Beberapa bangunan di Kotabaru juga menjadi kantor lembaga negara pada masa kemerdekaan, seperti Kolase Ignatius yang menjadi kantor Kementrian Pertahanan, dan Museum Sandi yang pernah menjadi kantor Kementerian Luar Negeri. Kotabaru juga menjadi saksi atas perjuangan masyarakat Yogyakarta dalam mempertahankan kemerdekaan, terutama pada saat peristiwa Penyerbuan Kotabaru.

Gambar : Peta kawasan Kotabaru

Sumber: Jogjakarta en Omstreken, Topografische Dienst. 1925

 

     Kawasan Kotabaru memang sejak awal dirancang untuk memenuhi kebutuhan hidup penghuninya dalam satu area. Landscape area ditata untuk mengakomodir aktivitas masyarakat. Wilayah ini juga mengalami pemasangan jaringan listrik dan air pam yang pertama kali di Yogyakarta. Jaringan listrik pertama kali yang ada di Kotabaru masih bisa dilihat bekasnya ada Gardu Listrik / Babon ANIEM yang terletak di depan Kantor Jiwasraya dan di depan kantong parkir Abu Bakar Ali.

Sumber :

Farabi Fakih. “Kotabaru and the Housing Estate as Bulwark against the Indigenization of Colonial Jawa”. dalam Freek Colombijn dan Joost Cote. Cars, Counduits, and Kampongs: the Modernization of the Indonesia City, 1920-1960. Leiden: Brill. 2015.

Haryy Trisatya Wahyu. “Pelestarian dan Pemanfaatan Bangunan Indis di Kawasan Kotabaru”. Thesis. S2 Arkeologi, FIB, UGM. 2011.

Mayangkara Edisi 4, 2017. Buletin Balai Pelestarian Warisan Budaya dan Cagar Budaya, Dinas Kebudayaan DIY.