Kotagede merupakan salah satu kawasan padat di Kota Yogyakarta dan statusnya kini merupakan Kawasan Cagar Budaya (KCB). Kotagede mulai banyak dikenal oleh masyarakat luas sejak abad ke-16, yaitu saat awal kerajaan Mataram Islam. Pada awalnya kawasan ini dikenal sebagai Alas Mentaok dan kemudian berkembang menjadi pemukiman penduduk. Perkembangan wilayah ini sangat berkaitan dengan kedekatan geografis dengan pusat kerajaan Mataram Islam, sehingga Kotagede muncul sebagai sebuah kota pemukiman yang banyak mengandalkan sektor perdagangan dan kerajinan.

Dari berbagai aktivitas ekonomi, sektor kerajinan dan perdagangan merupakan sektor yang paling dominan pada masa kerajaan hingga masa kolonial. Hal ini terbukti dari beberapa nama kampung yang dinamakan sesuai profesi masyarakatnya seperti Kemasan, Sayangan, Samakan, Mranggen, Pandeyan, dan Jagalan. Meskipun penamaan kampung-kampung tersebut didasarkan oleh pengelompokan aktivitas masyarakat, namun dinamika sosial-ekonomi masyarakat tidak mampu mempertahankan kesesuaian tersebut. Hingga abad ke-20, telah banyak kerajinan atau pertukangan yang tidak mengelompok sesuai nama kampung-kampung tersebut. Para pengrajin ukiran dan keris tidak lagi hanya dijumpai di Mranggen, profesi menyamak kulit juga tidak lagi berpusat di Samakan, begitu juga ahli pembuatan alat perkakas dari besi (pandhe) tidak hanya ditemukan di kampung Pandeyan tetapi terdapat di kampung-kampung lainnya.

Gambar 1:

Peta Kawasan Kotagede Tahun 1935

 

Salah satu kerajinan utama di wilayah Kotagede adalah kerajinan perak. Tumbuhnya usaha kerajinan perak ini diperkirakan telah ada sejak Kotagede menjadi ibukota Mataram Islam pada abad ke-16 sampai 17. Pada awalnya pengrajin perak merupakan abdi dalem kraton, dimana hasil kerajinannya berupa perhiasan dan peralatan rumah tangga digunakan untuk memenuhi kebutuhan kraton. Ketika pusat kerajaan dipindah dari Kotagede, para pengrajin lebih memilih untuk menetap di wilayah tersebut.

Gambar 2:

Pengrajin Perak di Kotagede Tahun 1939

 

Selain kerajinan, ada keunikan lain yang ada di Kotagede, yaitu sederet Rumah Kalang yang terletak di Tegalgendu. Rumah-rumah mewah bercorak Artdeco tersebut menggambarkan bagaimana mereka merupakan keluarga-keluarga kaya pada masanya. Hal ini tidak mengherankan karena orang-orang Kalang sudah sejak lama bergelut di sektor pegadaian dan penjualan emas atau permata. Saat ini beberapa rumah Kalang sudah berstatus sebagai Bangunan Warisan Budaya dan Bangunan Cagar Budaya.

Rumah Kalang di Kotagede adalah rumah yang dibangun dan pernah dimiliki keluarga Kalang dengan ciri arsitektur yang merupakan perpaduan antara gaya arsitektur Jawa, terutama pada denah tata ruang, dan gaya Indisch, terutama pada corak ornamen. Di Kotagede, rumah Kalang tinggal 12 buah, area sebarannya berada di tepi jalan Tegalgendu. Rumah Kalang termasuk sebagai rumah pusaka yang harus dilindungi keberadaannya, bahkan sudah diterbitkan buku pedoman pelestarian bagi pemilik rumah pusaka di kawasan Kotagede. Buku pedoman manual pelestarian tersebut kerjasama antara UNESCO Bangkok dan UNESCO Jakarta, dan pendanaannya ditanggung oleh pemerintah Kerajaan Arab Saudi.

            Rumah kalang merupakan perpaduan antara arsitektur Jawa dan arsitektur Indisch. Ada mitos bahwa Wong Kalang tidak diperbolehkan membangun rumah yang sama dengan rumah Jawa di Kotagede. Hal itu mungkin disebabkan pandangan Orang Jawa yang menganggap kedudukan Wong Kalang lebih rendah dari mereka karena asal-usulnya yang dianggap dari kalangan rendah. Namun karena kondisi ekonomi Wong Kalang yang sangat baik, mereka justru mampu membangun rumah yang meniru gaya arsitektur Indisch yang dikombinasikan dengan gaya arsitektur rumah bangsawan Jawa. Sebagai catatan, tidak banyak orang Jawa pada saat itu yang cukup kaya untuk membangun rumah yang demikian, sehingga rumah Kalang menjadi simbol kebanggaan tersendiri bagi pemiliknya.

Gambar 3:

Rumah Kalang B H Noerijah

 

            Gaya arsitektur rumah Kalang yang berakar dari gaya arsitektur tradisional Jawa dapat dilihat pada: tata ruang, bentuk atap, bentuk pintu, jendela dan ventilasi, serta ornamen. Sedangkan gaya arsitektur yang berakar pada gaya Indisch dapat dicermati pada: dinding, pintu, jendela dan ventilasi, serta ornamen interior dan eksterior, bahan atap transparan, kaca patri, tegel keramik lantai dan dinding, ornamen khas tentang tahun pendirian bangunan. Ciri khas tata tapak rumah Kalang adalah adanya halaman dan selasar antar bangunan berfungsi sebagai sirkulasi udara dan penerangan alami. Ciri khas lain adalah rumah Kalang biasanya memiliki ruang bawah tanah (bunker), berfungsi sebagai tempat menyimpan barang-barang berharga dan tempat persembunyian dari bahaya. Bunker dibuat tersamar, misalnya dengan cara dibangun kolam hias di atasnya sehingga menjadi elemen yang menarik.

            Secara umum, ciri-ciri rumah Kalang antara lain tiang bergaya Corinthia-Romawi, ada hiasan berbentuk kaca patri yang berwarna-warni, banyak menggunakan tegel bermotif baik untuk lantai maupun untuk penutup dinding bagian bawah, pintu dan jendela banyak serta berukuran besar. Adapun unsur tradisional yang digunakan ialah: susunan bilik masih menggunakan prinsip tiga senthong, gandhok gadri, dapur, kamar mandi, dan sumur.

            Namun demikian, sesudah terjadi gempa tahun 2006, muncul periode baru Kotagede. Dahulu rumah Jawa di Kotagede yang semuanya menghadap ke arah selatan sekarang menjadi kacau. Karena sebagian bangunan rusak, orang kemudian membangun rumah sesuai keinginan mereka sendiri-sendiri, arahnya bermacam-macam.

 

Sumber referensi:

Amini, Mutiah. “Dari Poro Hingga Paketik: Aktivitas Ekonomi Orang Kalang di Kotagede pada Masa Depresi-1930”, dalam Humaniora, Vol. XVIII, No. 2 Juni 2006.

Daliman, A. “Peranan Industri Seni Kerajinan Perak di Daerah Istimewa Yogyakarta Sebagai Pendukung Pariwisata Budaya”, dalam Humaniora, Vol. XII, No. 2 tahun 2000.

Tim Penyusun Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta. 2018. Menguak Kejayaan Bangunan Masa Lalu Kota Yogyakarta. Yogyakarta: Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta.