Kawasan Cagar Budaya Pakualaman merupakan bagian dari kekuasaan Kadipaten Pakualaman. Kadipaten Pakualaman berdiri pada tahun 1813, pada masa kekuasaan Inggris dengan penyerahan kekuasaan oleh Hamengku Buwono II kepada adiknya, Pangeran Natakusuma dengan status Pangeran Merdika (pangeran yang merdeka). Pangeran Natakusuma lalu mendapatkan gelar sebagai KGPAA Paku Alam I dengan kediaman di Puro Pakualaman di sisi timur Kasultanan Ngayogyakarta. Pada kawasan Pakualaman terdapat Puro Pakualaman sebagai pusat pemerintahan dan kediaman Adipati, alun-alun Sewadanan sebagai ruang terbuka dan tempat sosial raja dengan masyarakat, masjid sebagai sarana religius, dan pasar Tanjung sebagai sarana perekonomian masyarakat. Pasar Tanjung kini hilang digantikan dengan keberadaan pasar Sentul. Konsep kawasan tidak jauh berbeda dengan bentuk Kasultanan Yogyakarta, namun dengan skala yang lebih kecil. Orientasi Puro Pakualaman menghadap ke arah selatan sebagai bentuk penghormatan kepada eksistensi Kesultanan Yogyakarta.

            Wilayah kekuasaan Kadipaten Pakualaman berada di daerah Kulon Progo, sedangkan letak istana Puro Pakualaman berada di dalam kota Yogyakarta. Bangunan Puro Pakualaman ini pertama kali didirikan oleh Sri Paku Alam I. Bangunan Puro Pakualaman berdiri pada masa kolonialisme Inggris (1811-1816), kemudian Indonesia diserahkan kembali pada Belanda (1816-1942). Bangunan Puro Pakualaman semula bentuknya hanya sederhana, yang terdiri dari bangunan pendapa, taman bagian luar serta bangunan penunjang. Arsitektur Puro Pakualaman mengalami perubahan pada masa Sri Paku Alam IV, masa pemerintahan Sri Paku Alam V, dan pada masa pemerintahan Sri Paku Alam VII. Perubahan yang dilakukan yaitu membangun gedung yang baru serta membongkar bangunan lama. Pada tahun 1942 Indonesia dikuasai oleh Jepang, pada masa ini Puro Pakualaman tidak mengalami perubahan sampai akhirnya Indonesia merdeka tahun 1945. Setelah merdeka bangunan Puro Pakualaman banyak yang digunakan untuk kepentingan umum karena sikap dari pemimpin Puro Pakualaman yang domokratis.

Gambar 1:

Pendapa Utama Puro Pakualaman

 

            Kawasan Pakualaman menggunakan konsep tata ruang Jawa Catur Gatra Tunggal dalam tata ruang kawasan. Catur Gatra Tunggal merupakan empat elemen yang menjadi satu kesatuan dalam kebersamaan tunggal. Unsur dalam Catur Gatra terdiri atas budaya, sosial, ekonomi, dan religiusitas. Elemen pembentuk Catur Gatra di Kawasan Pakualaman antara lain:

  1. Pusat pemerintahan ditangan Adipati Paku Alam bertempat di Puro Pakualaman
  2. Pusat kegiatan sosial dan interaksi antara pemimpin dengan masyarakat terdapat di Alun-alun Sewadanan.
  3. Pusat peribadatan atau religiusitas bertempat di Masjid Pakualaman
  4. Pusat perekonomian terdapat di pasar bertempat di Pasar Tanjung (dahulu) digantikan dengan Pasar Sentul
  5. (sekarang)

Gambar 2:

Masjid Pakualaman

 

Konsep Catur Gatra masih dipertahankan sampai saat ini, menunjukkan karakter kawasan yang khas dan identik dengan tata ruang kerajaan Mataram Islam. Perubahan yang terjadi tidak merubah makna dari Catur Gatra, melalui perubahan fungsi dan letak pasar yang awalnya Pasar Tanjung di sisi barat kawasan menjadi Pasar Sentul di sisi timur.

            Karakter kawasan Pakualaman juga dapat dilihat dari stuktur kawasan dan toponim. Struktur kawasan berupa jalan di dalam kawasan Pakualaman sebagian besar masih sama, dengan perkembangan berupa penambahan jalan-jalan kecil di dalam kampung. Struktur kawasan berupa jalan merupakan salah satu bentuk fisik penting dalam karakter kawasan, karena menyiratkan fungsinya sebagai jalur ritual kawasan. Struktur kawasan berupa jalan yang masih bertahan menyatakan bahwa makna akan struktur kawasan masih dilindungi.

            Pada kawasan Pakualaman terdapat pula hunian-hunian pangeran ataupun kerabat dan pejabat Pakualaman yang biasa disebut Ndalem. Baik Ndalem maupun Puro menggunakan konsep tata ruang tradisional Jawa pada konfigurasi massa bangunannya. Selain itu terdapat konsep sistem pertanahan berupa magersari dan indung, serta tanah keprabon dan tanah bukan keprabon untuk menyatakan status dan kepemilikan tanah Pakualaman.

Gambar 3:

Bangsal Kepatihan Pakualaman

 

            Di Kawasan Cagar Budaya Pakualaman terdapat tiga karakter fisik yang khas kawasan Pakualaman, antara lain tipologi bangunan, struktur, dan konsep kawasan, baik dalam skala kecil maupun skala besar. Kawasan Pakualaman dikembangkan dengan dua tipologi langgam arsitektur, yaitu langgam arsitektur Jawa dan langgam arsitektur Indisch. Seiring perkembangan zaman, muncul tipologi arsitektur baru, yaitu langgam arsitektur modern atau masa kini. Langgam arsitektur Jawa dan Indisch tersebut masih dapat terlihat di beberapa bangunan di dalam kawasan. Beberapa bangunan dengan langgam khas tersebut masuk ke dalam daftar bangunan cagar budaya yang harus dilindungi dan dilestarikan sebagai salah satu bentuk fisik pembentuk karakter kawasan.

            Langgam arsitektur Jawa terlihat dalam bangunan Puro Pakualaman sebagai pusat pemerintahan dan kediaman K.G.P.A.A. Paku Alam X saat ini. Selain itu juga terlihat pada beberapa bangunan Ndalem Pangeran yang masih utuh namun beralih fungsi atau kepemilikan, dan beberapa elemen arsitektural pada rumah rakyat, terlihat dari bentuk atap, massa, bukaan, ataupun komposisi ruangnya. Sementara langgam arsitektur Indisch tersebar di sisi selatan Puro Pakualaman dengan fungsi hunian dan komersial (dalam pengembangannya). Melihat dari kondisi eksisting kawasan pada masa kini dibandingkan dengan kondisi kawasan masa lalu, terdapat perubahan tata ruang berupa pemadatan massa bangunan dan perubahan fungsi bangunan menggeser makna terdahulu untuk kelangsungan bangunan. Seperti contoh, Ndalem Suryoprinangan kini berubah fungsi menjadi hotel Puri Pangeran, Ndalem Notokusuman (Kepatihan) beralih fungsi menjadi fasilitas pendidikan, dan hunian Indisch Kemayoran menjadi kantor. Pada Ndalem Pujowoninatan, terjadi pemadatan massa berupa hunian rakyat hasil dari sistem Magersari dan Indung. Beberapa Ndalem lain seperti Ndalem Nototarunan beralih kepemilikan lahan menjadi milik pribadi. 

Gambar 4:

Rumah Kemayoran I

 

            Banyak terdapat warisan budaya yang terdapat di kawasan Pakualaman ini yang sudah diangkat sebagai cagar budaya atau yang potensial untuk dijadikan cagar budaya, diantaranya:

  1. Puro Pakualaman dengan bangunan bangunan seperti Regol Danawara, pendapa Sewatama, Dalem Ageng Probosuyoso, Gedung Maerokoco, Kestalan serta kelengkapan lainnya.
  2. Masjid Agung Pakualaman
  3. Alun alun Sewandanan
  4. Dalem Suryasudirjan, didirikan pada tahun 1843. Dahulu digunakan oleh RM Suryasudirja (keturunan PA III).
  5. Dalem Banaran, didirikan pada tahun 1923, digunakan sebagai sanggar tari dan karawitan.
  6. Dalem Somawinatan, didirikan tahun 1855,
  7. Dalem Suryaningprangan, didirikan tahun 1843.
  8. Dalem Pujowinatan, didirikan tahun 1843.
  9. Dalem Nototarunan, didirikan tahun 1811. Dalem ini dibangun oleh BPH. Notokusumo. Pada tahun 1812 dipergunakan sebagai rumah tinggal BRM. Salya putra KGPAA Paku Alam I dengan garwa ampeyan raden Riya Purnamasari. BRM Salya ini yang mengganti pengausan Puro dengan gelar KGPAA Paku Alam II. Sehingga bisa dikatakan bahwa dalem Nototarunan adalah rumah tinggal putra mahkota Puro Pakualaman dan dapat dikatakan juga bahwa nilai dan kedudukan bangunan ini sama dengan Dalem Mangkubumen. Dalem ini adalah dalem yang mempunyai umur tertua dibanding dengan dalem-dalem yang ada di kawasan Pakualaman.
  10. Dalem Natanegaran, didirikan tahun 1833
  11. Dalem Kepatihan, dibuat pada masa Paku Alam VII.
  12. Bangunan Kemayoran I,
  13. Bangunan Kemayoran II,
  14. Bangunan Ngesus (Societeit Mari Oneng),
  15. Makam Sasrabahu,
  16. Makam Gunung Ketur,
  17. Pasar Sentul
  18. Dalem Pengulon,
  19. Dalem Suryokusuman
  20. Bangunan Museum Panglima Besar Sudirman,
  21. Bangunan Susteran Sang Timur
  22. Toponim kuno seperti kampung Natawinatan dan Suryengjuritan sebagai penunjuk keberadaan kediamaan ndalem pangeran, kampung Kenekan, jagalan dan Purwanggan yang menunjukkan jenis pekerjaan dominan dari masyarakat yang berdiam di dalam area, kampung Tanjung yang menunjukkan dominasi keberadaan pohon Tanjung di sekitar area, Kauman, dam Beji. 

Sebagian besar toponim kampung tersebut hanya menyisakan nama saja dengan berbagai perubahan yang telah terjadi di dalam kawasan, baik dari fungsi bangunan maupun aktivitas masyarakat. Karakter kawasan Pakualaman dalam skala besar yaitu konsep dan struktur kawasan masih memiliki bentuk dan makna yang belum banyak berubah. Namun dalam skala yang lebih kecil, berupa elemen-elemen kota seperti bangunan, ruang terbuka, lanskap, dan elemen lainnya mengalami banyak perubahan dengan adanya pemadatan massa bangunan, perubahan fungsi dan penggunaan, dan perubahan aktivitas dapat menggerus karakter maupun identitas kawasan.

 

Sumber Referensi:

Tim Penyusun Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta. 2018. Menguak Kejayaan Bangunan Masa Lalu Kota Yogyakarta. Yogyakarta: Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta.

Paramitasari, Angela Upitya. Identifikasi Karakter Kawasan Cagar Budaya Pakualaman Yogyakarta. Diolah dari https://seminar.iplbi.or.id/wp-content/uploads/2017/06/HERITAGE2017-B-025-032-Identifikasi-Karakter-Kawasan-Cagar-Budaya-Pakualaman-Yogyakarta.pdf.