Gambar 01. Gapura Pintu Masuk Kompleks Makam Pasarean Mataram

Kotagede adalah sebuah kota lama yang terletak di Yogyakarta bagian selatan yang secara adminisratif terletak di kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul. Sebagai kota kuno bekas ibukota Kerajaan Mataram Islam yang berdiri tahun 1532 M. Kotagede merupakan daerah budaya dengan banyak peninggalan sejarah yang terlihat dari arsitektur bangunan maupun kehidupan sosial budaya.

Sebagai bekas ibukota kerajaan Mataram Islam pada pemerintahan Panembahan Senapati, Kotagede menyisakan peninggalan arkeologis yang jauh lebih bermakna. Selain itu, ia tetap  eksis sebagai kota lama yang berahan dengan dinamikanya hingga saat ini. Secara umum dapat dikatakan bahwa Kotagede masa lalu merupakan kota pusat kegiatan-kegiatan politik,ekonomi, dan sosial budaya.

Kotagede pada dasarnya mempunyai kesamaan dengan kota-kota lainnya yang ada di Jawa, yang dibangun berdasarkan pada konsep kosmologis Jawa-Islam. Konsep ini mengacu pada keselarasan, keseraisan, dan kesejajaran antara mikrokosmos yang berupa lingkungan buatan dengan makrokosmos yang berupa alam semesta, antara manusia dengan kesadaran sebagai makhluk yang lemah dengan kesadaran manusia otonom dan bertanggungjawab, anatara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat.

Konsep tatanan kawasan tradisional Jawa di Kotagede menggunakan empat elemen (catur gatra) yaitu rumah raja, pasar alun—alun dan masjid diterapkkan pada penataan awal kawasan pemukiman. Sampai saat ini terlihat hanya tempat ibadah berupa masjid (Masjid Ageng) dan lokasi pasar (Pasar Gede Kotagede). Pasar Gede Kotagede atau sekarang dikenal pasar Kotagede merupakan pusat kegiatan aktivitas ekonomi sejak zaman kerajaan Mataram Islam hingga kini. Akses untuk menuju pasar Kotagede yang berhubungan dengan ada tiga jalan yaitu Jalan Mondarakan, Jalan Kemasan dan Jalan Karang Lo.

Gambar 02. Masjid Ageng Kotagede

Nilai sejarah dan budaya di kawasan Kotagede tercermin pada arsitektur rumah tinggal dan kehidupan sosial masyarakatnya. Berdasarkan gaya arsitekturnya, rumah tradisional di kawasan Kotagede dibedakan yaitu, rumah Kalang (Sudagaran) dan tradisional Jawa (rumah Joglo). Rumah Kalang bercirikan arsitektur Eropa yang disesuaikan dengan budaya dan alam sekitar. Sedangkan rumah tradisional memiliki ciri atap joglo dengan atap meninggi atau memuncak di bagian tengah yang disebut brunjung dan konsul kayu berukir yaang disebut bahu dhanyang. Hal yang menarik yaitu halaman rumah-rumah lama di Kotagede biasanya dibatasi dengan pagar tembok yang tinggi dengan satu regol utama, sehingga jalan-jalan di perkampungan diapit oleh pagar-pagar tersebut.

      

    Gambar 03. Rumah Kalang  

 

Rumah 04. Rumah Joglo

Jika dilihat dari segi arsitekturnya, bangunan di Kotagede dapat menggambarkan jalannya tiga periodesasi yang berpengaruh besar di wilayah ini yaitu masa Mataram awal (Abad XVII) yang bercorak Hindu-Jawa-Islam, masa Kotagede yang bercorak Jawa – Islam, dan masa awal abad 20 yang bercorak indische perpaduan Jawa. Bangunan joglo pada periode Jawa Hindu memiliki ornamen berupa ukian daun-daunan , sulur-suluran, bunga teratai, dan gambar binatang. Kemudian, bangunan Joglo periode Jawa-Islam memiliki ukiran dengan ornamen kaligrafi Islam. Sementara itu, joglo periode Jawa-kolonial ukirannya berupa mahkota kerajaan Belanda dengan perpaduan besi, jendela besar, atau kaca patri khas Barat.

Selain ornamen, dari segi fungsi Joglo juga mengalami perubahan. Di masa Jawa-Hindu senthong Joglo digunakan sebagai tempat pemujaan Dewi Sri dan tidak digunakan untuk tidur. Kemudian, pada masa Jawa-Islam fungsinya berubah menjadi mushala dan digunakan untuk shalat. Fungsi senthon Joglo berubah di masa Jawa-Kolonial yaitu sebagai tempat bekerja dan tidur.

Gambar 05. Bagian Senthong pada Rumah Joglo

Berdasarkan peninggalan arkeologis dan toponim dapat diketahui bahwa Kotagede terdiri atas sejumlah kampung yang dihuni oleh kelompok masyarakat tertentu, yang ditunjukan antara lain melalui nama-nama kampung yang berhubungan dengan profesi, status sosial, atau nama seorang tokoh. Toponim di Kotagede yang dapat dirunut hingga saat ini adalahh Pandheyan, Samakan, Sayangan, dan Mranggen (perajin), Lor Pasar, Prenggan, Trunojayan, Jagaragan, Boharen, Purbayan, Jayapranan, Singosaren, Mandarakan (nama tokoh dan bangsawan), Kauman, Mutihan (rohaniawan dan ulama), Alun-alun, Kedhaton, dan Dalem (Komponen istana) yang berhubungan dengan tumbuhan misalnya Patalan dan Basen. Dari Toponim (nama tempat) menggambarkan masyarakat penghuni Kotagede, baik dari sisi profesinya, asa usul, maupun kelompok sosialnya. Dari Toponim juga dapat diketahui keberadaan bagian kota yang sekarang sudah tak berbekas lagi serta sebaran perkampungan di dalam kota.

Meskipun Kotagede sudah tidak lagi berfungsi sebagai pusat pemerintahan, Kotagede tetap hidup sebagai daerah di Yogyakarta yang penuh dengan hiruk pikuk aktivitas manusia. Di kawasan itu masih dapat disaksikan rumah-rumah tradisional kuno, meskipun tidak sejaman dengan masa keemasan Kotagede. Fasad bangunan di Kotagede secara tidak langsung telah memberikan identitas kawasan Kotagede sebagai kawasan bersejarah.

Sumber Referensi :

Tim Penyusun Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta. 2018. Menguak Kejayaan Bangunan Masa Lalu Kota Yogyakarta. Yogyakarta: Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta.

Sujarweni, V. Wiranata. 2021. Menelusuri Jejak Mataram Islam di Yogyakarta. Yogyakarta: Penerbit Anak Hebat Indonesia.

09.05 WIB/23/08/2021