Stasiun Tugu
79.273xGambar 01. Stasiun TuguGambar 01. Stasiun Tugu
Stasiun Kereta Api Tugu terletak di sisi sebelah barat jalan poros Keraton-Tugu Pal Putih atau berada di sebelah barat Stasiun Lempuyangan. Sampai skarang Stasiun Tugu menjadi stasiun utama di Kota Yogyakarta. Keberadaan bangunan tersebut menjadi landmark atau penanda kawasan yang menonjol. Stasiun Tugu sudah berumur ratusan tahun karena bangunan stasiun ini sudah didirikan sejak zaman penjajahan kolonial Belanda seiring dengan berkembangnya alat transportasi kereta api di Jawa.
Sejarah perkeretapian di Indonesia dimulai dari pembangunan rel pertama Semarang-Temanggung pada tanggal 17 Juni 1864 di desa Kemijen Semarang. Pembangunan jalur kereta api ini diprakarsai oleh perusahaan swasta yaitu Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NIS). Wilayah pemberian konsesi pun awalnya terbatas pada sekitar Semarang-Surakarta-Yogyakarta. Karen a menurut pertimbangan militer rencana itu cukup strategis yaitu untuk mendukung pergerakan tentara kolonial Belanda. Hal itu menjadi penting apabila terjadi pemberontakan kembali di wilayah kerajaan Surakarta dan Yogyakarta seperti pemberontakan Pangeran Diponegoro, maka dengan mudah pemerintah kolonial menggerakan pasukan dari Semarang dan Ambarawa.
Pada tahun 1872 jalur kereta api sudah sampai di Yogyakarta, dengan stasiun Lempuyangan sebagai tempat pemberhentian kereta api. Stasiun Lempuyangan kemudian dibuka dan diresmikan pada tanggal 2 Maret 1882. Peresmian stasiun ini sekaligus menandakan masuknya kereta api pertama kali di kota Yogyakarta. Staats Spoorwegen kemudian membangun stasiun di sebelah barat Stasiun Lempuyangan. Stasiun Tugu dibangun oleh SS dan mulai dibuka pada tahun 12 Mei 1887. Tujuan awal dibangunnya stasiun Tugu adalah untuk kebutuhan pengangkutan hasil bumi dari daerah Jawa Tengah dan sekitarnya yang menghubungkan kota-kota Yogyakarta — Solo — Semarang.
Fungsi stasiun sejak awal didirikan hingga sekarang masih tetap dipertahankan yaitu sebagai alat transportasi. Pada awalnya stasiun Tugu difungsikan sebagai rute persinggahan pengangkutan barang. Kemudian, pada 1905, Stasiun Tugu mulai melayani kereta penumpang. Pada masa penjajahan kolonial Belanda digunakan oleh para pembesar Belanda sebagai perantara persinggahan dari perjalanan kereta api ke perjalanan darat. Sedangkan pada masa perjuangan kemerdekaan dan perang melawan penjajah stasiun Tugu memiliki peran sebagaii tempat pemberangkatan dan kedatangan pasukan pejuang kemerdekaan. Stasiun ini juga menyimpan memori tentang momentum perpindahan Ibukota Republik Indonesia ke Kota Yogyakarta dan juga peristiwa Yogya Kembali.
Gambar 02. Stasiun Tugu pada Tahun 1890-an
Gambar 03. Rel Kereta di Stasiun Tugu pada 1889
Pada awalnya stasiun Tugu dibangun dengan model arsitektur klasik. Pada tahun 1925 stasiun ini mengalami revovasi pada bagian pintu masuk utama atau entrance hall yaitu penambahan tiang persegi berjumlah 8 (delapan) buah di bagian tengah bangunan. Kemudian pada 1927 hall stasiun diperluas dan fasad direnovasi menjadi bergaya Art Deco dengan bentuk-bentuk geometris dan garis-garis lurus yang memberikan kesan modern dan mewah
Gambar 04. Arsitektur Stasiun Tugu Bergaya Neo-klasik di Era Kolonial Hindia Belanda
Sampai dengan tahun 2017, Stasiun Tugu dari sisi fungsionalnya merupakan stasiun utama di kota Yogykarta yang menghubungkan ke berbagai jalur kota lainnya. Tebukti jaringan rel berkembang dari stasiun Tugu ke arrah selatan ke wilayah Bantul, Palbapang, dan Sewu Galur. Sedangkan yang yang ke arah tengggara yaitu ke arah Pabrik Gula Kedatoon Pleret melalui sentra kerajinan logam perak Kotagede. Stasiun Tugu saat ini sudah menjadi stasiun besar dengan enam jalur kereta yang melayani kereta kelas bisnis dan eksekutif untuk berbagai kota tujuan di Pulau Jawa. Namun jalur ke kota Semarang via Magelang justru sudah tidak beroperasiOleh karena itu, stasiun ini dapat dikategorikan sebagai bangunan yang masih terus difungsikan sebagaimana peruntukan awalnya (living monument).
Sumber Referensi:
Tim Penyusun Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta. 2017. Ragam Penanda Zaman: Memaknai Keberlanjutan Merawat Jejak Peradaban. Yogyakarta: Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Tim Telaga Bakti Nusantara. 1997. Sejarah Perkretaapian Indonesia, Jilid I. Bandung: CV Angkasa.
Zuhdi, Susanto. 2002. Cilacap 1830-1942: Bangkit dan Runtuhnya Suatu Pelabuhan di Jawa. Jakarta: KPG.
09.00 WIB/02/08/2021